SEKARANG banyak negara yang mengeluarkan beragam produk yang menyasar ekosistem muslim dengan brand halal. Tentu saja fenomena tersebut segendang sepenarian dengan tren tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap produk produk halal.
Bukan saja sebagai upaya memenuhi tuntutan pasar, inovasi produk halal berbasis syariah ini sejatinya memang sebuah keniscayaan, yang, mau tidak mau, produsen harus mampu membaca dan memanfaatkan potensi ini jika tak mau ketinggalan.
Data juga menunjukkan indikator tersebut. Diantaranya misalnya pada tahun 2019 sebagaimana data dari State of the Global Islamic Report menyebutkan bahwa penduduk muslim menghabiskan sekitar USD 2,2 triliun untuk konsumsi produk industri halal, seperti makanan dan minuman, obat-obatan, dan produk gaya hidup lain yang menunjang perilaku halal lifestyle.
Angka tersebut di atas diprediksi akan meningkat menjadi USD 2,4 triliun pada 2024, di mana sektor potensial yang akan berperan besar adalah industri makanan dan minuman halal, kosmetik, obat-obatan, jasa keuangan syariah, fesyen muslim, pariwisata halal, dan media islami.
Pada titik inilah, saya pikir, pangsa pasar muslim memang sangat menggiurkan. Betapa tidak, populasi penduduk muslim dunia sekarang mencapai 1,8 miliar jiwa dan ini akan terus bertambah. Jelas ini merupakan jumlah yang sangat besar dan potensial. Pesatnya pertambahan penduduk muslim ini tentunya akan membawa imbas positif bagi perkembangan ekonomi syariah.
Disamping itu, ekonomi syariah dan industri halal juga telah dilihat sebagai sumber mesin pertumbuhan baru, baik di tingkat domestik maupun global. Belum lagi jika hal ini ditopang dengan industri halal di Tanah Air dimana umat muslim terbesar penduduknya yaitu 229,6 juta pada tahun 2020 dengan pengeluaran untuk produk dan layanan halal mencapai USD184 miliar di tahun 2020 dan diperkirakan pada tahun 2025 menjadi US281.6 miliar.
Bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hal tersebut merupakan hal yang sangat menjanjukan. “Ini merupakan pasar yang besar,” kata Menko Bidang Perekonomian itu saat menyampaikan sambutannya pada acara Indonesia Halal Industry Award (IHYA) 2022 di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Berikutnya, data The State of the Global Islamic Economy Report 2022 mengungkapkan bahwa indikator ekonomi syariah Indonesia terus membaik, di mana Indonesia berhasil menjadi peringkat ke-4 di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen produk halal terbesar di dunia yang mencakup 11,34% dari pengeluaran halal global.
Di sektor makanan halal, Indonesia disebut merupakan konsumen terbesar kedua di dunia, sementara di sektor kosmetik halal menjadi konsumen terbesar keempat di dunia. Dengan besarnya potensi demografi, Pemerintah juga akan mendorong masyarakat Indonesia untuk menggunakan dan menumbuhkan kebanggaan terhadap produk halal buatan negeri sendiri.
Urgensi Sertifikasi Halal
Mengutip Menko Bidang Perekonomian, menurut penulis, memang perlu sekali melihat potensi market yang sangat besar baik dari dalam maupun luar negeri sambil melakukan repositioning agar Indonesia tidak hanya menjadi target pasar.
Kita berharap Indonesia mampu mendorong peningkatan produksi produk halal. Untuk itu, pengembangan industri halal akan terus diakselerasi secara berkelanjutan dalam rangka memenuhi demand dari dalam dan luar negeri.
Disinilah pentingnya adanya sertifikasi halal untuk mendorong penjaminan mutu dan kualitas inovasi produk syariah. Sertifikasi produk halal menjadi sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi melalui industri dan perdagangan produk halal yang kompetitif, terutama di era perdagangan bebas dan global.
Oleh sebab itu, pada titik inilah keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi sangat penting dan mendasar untuk menjadi penunjang bagi indonesia untuk memasarkan produk halal secara besar besaran ke mancanegara.
Selain menawarkan nilai tambah bagi pengusaha dalam pembuatan dan penjualan produk, dengan adanya sertifikasi halal juga sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi melalui industri dan perdagangan produk halal yang kompetitif karena akan di nilai baik dan positif bagi para konsumen terutama di era perdagangan global.
Fokusnya kemudian adalah bagaimana menjembatani langkah seluruh pelaku industri dan pemangku kepentingan terkait untuk perkuat ekosistem ekonomi syariah di Indonesia.
Last but not least, penguatan ekosistem syariah juga dapat dilakukan dengan membina sumber daya manusia yang terampil di bidang ekonomi dan keuangan syariah. Apalagi jika meneropong ketersediaan tenaga di bidang spesialisasi ekonomi syariah yang relatif masih rendah, maka kaderisasi sumber daya insani di sektor ini mutlak untuk terus dikuatkan.
Tentu saja harapannya dengan berbagai inovasi bertumbuh dalam sirkulasi produk syariah yang ditopang dengan sumber daya mumpuni, hal ini akan semakin memantapkan penetrasi pangsa pasar muslim yang tidak saja berkualitas mulai pemilahan bahan sumber, pra, dan pasca produksi (halal) melainkan juga dipastikan mutu dan manfaatnya (thayyib).
*) Ardillah Arrahman, penulis adalah mahasiswa program studi Ekonomi Syariah di Universitas Pamulang. Selain menggeluti hobi membaca dan traveler, penulis yang tinggal Ciputat ini aktif berkecimpung di sejumlah kegiatan organisasi seperti Hima Eksyar, Pemuda Hidayatullah, Quran Movement (QUM), Millenial Quran (MQ), Masjid Sinergi Energi (Masigi) dan lainnya.